oleh Noor Zainab pada 10 Juli 2011 pukul 15:07 ·
Assalamu’alaikum, teman-teman semua…
Kumulai menulis kisah ini dengan membaca Bismillahirrahmanirrahim.
Mungkin bisa dikatakan ini adalah cerita perdana yang kutuangkan dalam bentuk tulisan. Terakhir aku menulis cerita waktu masih Sekolah Dasar, itupun karena memang harus kulakukan demi mendapat nilai ulangan Bahasa Indonesia. Biasanya, kalau aku menulis sebuah tulisan berbentuk cerita, hasilnya tidak akan pernah selesai, entah karena bingung apalagi kelanjutan ceritanya, atau memang menulisnya dengan setengah hati, sampai akhirnya aku menyerah. Makanya, sampai sekarang baru ini cerita pertamaku yang jadi. Tapi kali ini, kok berhasil diselesaikan ya, hehehe. Aku mengakui gaya bahasanya memang masih sangat kaku dan terkesan blak-blakan. Maklumlah, penulis amatiran. Terlepas dari apapun, semoga cerita ini bisa bermanfaat bagi para pembaca semua, itu saja doaku.
Ceritaku: Kenangan Masa-Masa di Asrama
Enam tahun yg lalu..
Aku rindu masa-masa itu…
Tahun pertama sebagai mahasiswa,..
Aku masih ingat ketika Ustadzah Habibah mengetuk, ehmm.. lebih tepatnya menggedor pintu kamarku, sekitar pukul 5 pagi sebelum adzan shubuh berkumandang. “Inggih”, jawabku sambil mengumpulkan nyawa di tubuhku. Tapi aku lebih memilih melanjutkan kembali mimpi yang sempat terputus hingga terbangun saat jama’ah di masjid kampus sedang berdzikir usai sholat berjamaah. Parahnya lagi, saat ada razia pelanggaran sholat berjamaah, kukunci pintu kamar tanpa ada sedikitpun sahutan saat mereka lagi-lagi menggedor pintu kamarku. Kalau ingat hal itu, rasanya berdosa sekali aku pada para Murobbiyah, tega, hehehe.
Tahun kedua dan ketiga sebagai musyrifah…
Kejadian paling lucu sekaligus paling konyol adalah ketika aku ketahuan berada di kamar anak buahku saat lewat jam 10 malam sambil “mencokan”. Apalagi yang menangkap basah waktu itu adalah Raudah, sesama musyrifah juga. Dia mahasiswa PBA yang mungkin bisa dikatakan musyrifah paling taat aturan, gkgkgk. Lucu banget kalau liat ekspresinya waktu itu, tapi aku takut juga kalau sampai dia melaporkanku ke Murobbiyah, huhuhuu bisa gawat nanti. Untung, dia masih berbaik hati, jadi aku ga sempat disidang.
Ada sedihnya juga nih. Waktu aku minta izin untuk pulang ke rumah tapi tidak diberi izin oleh Ustadzah Laila. Padahal setiap akhir sabtu, aku selalu menyempatkan diri untuk pulang berkumpul dengan keluarga. Saat tahu tidak diizinkan, aku langsung keluar dari ruangan Murobbiyah tanpa permisi. Spontanitas aja sih, soalnya aku tidak mau beliau melihat air mataku yang langsung berderai selepas keluar dari ruangan itu. Dasar cengeng, pikirku.
Pengalaman pertama mengurus anak buah yang kesurupan juga kudapat disini. Pas malam Jum’at, sekitar jam 10 malam di bulan Sya’ban, aku beserta para Musyrifah harus begadang di masjid sampai jam 3 pagi. Jadi ada dua orang nih ceritanya, anggap saja namanya Mawar dan Melati. Awalnya, mereka jalan-jalan mau mencari makan malam, habis acara Burdahan di asrama. Eh, sesampai di depan perpustakaan utama, si Melati malah pingsan. Konon katanya, dia melihat bayangan seram di pohon depan perpustakaan. Untung ditolongin sama mahasiswa yang kebetulan lewat. Pas si Melati digotong kembali ke asrama, tidak taunya Mawar yang mengikuti dari belakang malah ikut pingsan juga. Lengkap deh, keduanya akhirnya diantar ke mesjid kampus oleh mahasiswa-mahasiswa yang ikut menolong. Nah, waktu itu sedang berlangsung rapat pembesar-pembesar di asrama. Tiba-tiba aku dikejutkan sebuah laporan dari salah satu anak buah yang kehilangan dua orang teman sekamarnya. Pas HPnya dihubungin, yang mengangkat malah pengurus mesjid kampus. Aku bersama tiga orang Musyrifah lain bergegas menyusul mereka ke mesjid. Sesampainya di mesjid, kami langsung diminta mendekati si “korban”. Aku harus menggenggam tangan Mawar sambil membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang bisa kubaca. Dia cuma berteriak bersahutan dengan Melati. Dalam hati, aku hanya bisa berharap semoga ini cepat berlalu dan tidak terjadi hal yang macam-macam pada diri mereka dan pada diriku juga tentunya. Jujur, aku takut juga waktu itu, yang kubayangkan orang kesurupan itu kan bisa menyerang orang di sekitarnya kayak yang di TV, soalnya itu baru pertama kalinya. Selepas jam 3 pagi, kami baru bisa kembali ke asrama. Tugas belum selesai, aku masih harus menemani anak buah yang baru saja kesurupan tadi. Tanggung jawab yang cukup besar. Dari pengakuan Mawar dan Melati, ternyata orang yang sedang kesurupan itu merasa secara sadar apa yang sedang terjadi pada dirinya. Namun, dia tidak punya kekuatan untuk menguasai tubuhnya. Sebenarnya dia malu juga berteriak dan bicara tidak karuan, tapi apalah daya ketika ada makhluk lain yang merasuki. Dia hanya bisa memberontak dengan hatinya sambil mengingat Allah. So, kalau tidak ingin kesurupan, jaga selalu hati dan pikiran jangan sampai kosong supaya syaithan atau jin tidak bisa merasuki jiwa kita. Setelah berulang kali menghadapi soal kesurupan di asrama, aku jadi terbiasa dan tidak takut jika bertemu dengan hal yang seperti itu.
Seorang Musyrifah juga harus belajar jadi imam sholat berjamaah di asrama setiap Maghrib, Isya, dan Shubuh. Tidak ketinggalan wirid dan dzikir selepas sholat. Alhamdulillah, aku telah dibekali ilmu membaca Al Qur’an sejak masih kanak-kanak, jadi untuk hal bacaan bisa dikatakan bukan masalah yang berarti. Hanya saja mungkin dalam menjaga hati sebagai seorang imam, kekhusyu’an sholat harus terjaga, karena di belakangku ada puluhan jamaah yang menjadi makmumku. MasyaAllah, sampai sekarang pun rasanya aku masih belum pantas menjadi seorang imam.
Tanggung jawab sebagai teladan bagi adik-adik angkatan juga ada di pundakku waktu itu. Intinya, aku harus menjaga sikap sebab sikap seorang Musyrifah adalah tolak ukur bagi mereka.
Pernah suatu ketika aku dipanggil ke ruangan Murobbiyah. Menurut penilaian beliau, aku ini orangnya paling cuek, kadang lebih mementingkan diri sendiri, kalau membujuk teman cepat sekali menyerah, EGP lah pokoknya. Hmm, kalau dipikir-pikir benar juga sih. Namun, seiring berjalannya waktu aku berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Manusia yang peka terhadap orang-orang disekitarnya. Aku mencoba mengubah pola pikirku yang dulu agak tertutup menjadi lebih terbuka. Kehidupan ini adalah sebuah proses bagiku untuk lebih bijaksana. Aku juga belajar dari kisah hidup orang lain. Pengalaman adalah guru yang paling berharga, aku mengakuinya.
Namun, ada sisi baiknya juga lho, kata Murobbiyah, aku punya potensi lebih dibandingkan yang lain, nilai-nilaiku di jurusan bisa dijadikan contoh bagi adik angkatan. Tempat bertanya dalam hal mata kuliah yang aku memiliki kemampuan untuk menjelaskannya. Meski tidak terlalu pintar Bahasa Arab, buku PPB ku sempat dipinjam selama satu semester oleh adik-adik angkatan. Lumayan lah buat bahan belajar, katanya….huhuhuuu. Aku juga terbiasa jadi tempat curhat dalam ilmu kejuruan yang kugeluti saat ini. Pernah sampai tengah malam aku menemani mereka belajar sebelum final tes. Entah kenapa, aku merasa lebih mudah akrab dengan adik-adik angkatan ketimbang rekan-rekanku sesama Musyrifah. Mungkin, adanya rasa saling membutuhkan satu sama lain yang lebih besar. Kalau dibandingkan dengan Musyrifah yang lain, mungkin aku tidak ada apa-apanya. Tapi, kebersamaan kami dalam berjuang di asrama adalah satu pengalaman yang luar biasa yang akan sulit ditemui di kemudian hari. Belajar menjadi pemimpin dalam satu asrama, ada 1 Murobbiyah, 6 Musyrifah, dengan sekitar 140an mahasiswa yang menjadi bimbingan.
Kalau melihat diriku yang sekarang, rasanya jauh sekali dari kehidupan di asrama dulu. Apalagi selama 1,5 tahun terakhir ini, aku harus hidup di negeri orang. Bedanya, kalau dulu masih ada teman-teman seperjuangan yang mengimbangi langkahku, sekarang situasinya jauh berbeda. Jauh dari diskusi keIslaman yang mengasah pola pikirku. Begitu pula pola pergaulan di tempatku yang baru sangat berbeda dengan lingkunganku yang dulu. Aku pun harus jadi Murobbiyah bagi diriku sendiri.
Waktu adalah salah satu hal yang tidak dapat dikembalikan. Bahkan satu detik pun, manusia tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk mengembalikannya. Manusia biasanya baru merasakan betapa mahal harganya, ketika waktu itu tidak ada lagi dalam genggaman.
Kini, barulah aku menyadari bahwa aku tidak bisa hanya diam dan mengikuti arus kehidupan yang tengah kulalui. Aku harus memiliki pegangan hidup agar tidak tersesat lebih jauh lagi. Pembaharuan hati harus dilakukan. Hidup ini tidak hanya untuk duniawi saja, ukhrawi lah kehidupan sebenarnya yang akan aku dan kalian jalani nanti. Hati ini harus basah kembali oleh ajaran ajaran Ilahi. Aku ingin lebih sering berkumpul dalam majelis-majelis yang bisa mendekatkanku kembali pada Rabb-ku. Aku ingin menjadi manusia yang beruntung, manusia yang keadaannya hari ini lebih baik dari hari kemarin. Itulah tekadku saat ini. Lebih baik sekarang daripada tidak sama sekali.
“Ya Muqollibal qulub, tsabbit qolbiy ‘ala tho’atika”, doaku.. (Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati manusia, teguhkanlah hatiku untuk selalu menaati-Mu.)
Ini ceritaku, apa ceritamu……..
0 komentar:
Posting Komentar