oleh Noor Zainab pada 12 Agustus 2012 pukul 1:08 ·
Suatu pagi di bulan Ramadhan, selepas shubuh aku berjaga di depan layar televisi. Daripada menyambung mimpi yang terputus malam tadi sebelum sahur, lebih baik menyimak tausiyah ustadz, pikirku. Meskipun sebenarnya kadang-kadang kalah juga dengan kantuk yang menyerang dan akhirnya memilih kasur, bantal, dan selimut sebagai teman selepas shubuh. Maklum, aku juga manusia…
“Ma, kata pa ustadz, “Orang yang menjenguk orang sakit sepertinya ia berada dalam taman-taman surga sampai ia kembali (HR.Muslim)”, kataku memulai pembicaraan dengan mama yang baru selesai tadarus Al Qur’an. “Nah, pas banget tu. Nenekmu kan lagi sakit. Tubuh beliau semakin kurus saja. Kamu belum sekalipun menjenguk beliau kan selama Ramadhan ini? Jenguk nenekmu hari ini.. “, pinta mamaku.
Benar juga sih kata mamaku, selama liburan panjang di desa selama Ramadhan, aku memang belum sempat mengunjungi nenekku yang sedang sakit. Kebetulan aku bekerja di kota yang cukup jauh dari rumah. Jadi, selama masih bertugas aku tinggal di kos-kosan dan baru pulang setiap akhir pekan. Nenekku itu usianya sekitar 80-an. Sudah beberapa bulan ini, kondisi kesehatan beliau semakin menurun. Namanya juga orang tua, ada saja penyakit yang diderita, mulai dari gula darah, asam urat, kolesterol, dan lain-lainnya yang kata dokter tidak berada dalam batas normal, faktor usia juga salah satunya.
“Lukmaaan, ayo dik, kita jalan-jalan ke taman surga..”, ajakku kepada adik bungsu yang selalu lengket denganku kalau lagi ada di rumah. “Haaa, taman surga itu kan adanya di surga.. Berarti harus mati dulu kan ka?”, tanyanya bingung. “Ini lain lagi taman surganya, Dik. Adanya di dunia, hehehe. Yuk, kita menjenguk nenek”, jawabku. “Ah masa ke rumah nenek itu sama dengan ke taman surga.. Kan rumah nenek dekat banget, kalau surga itu ada di akhirat, ka..”, kilahnya dengan malas-malasan. Sepertinya dia masih ingin bergelut dengan bantal kesayangannya. “Percaya deh sama kaka. Nanti agak siangan kita kesana ya. Sekarang kaka mau mandi terus sholat dhuha dulu..”, pintaku langsung beranjak tanpa mendengarkan ocehannya lagi.
Sekitar pukul sepuluh pagi, aku tarik tangan Lukman yang masih asyik rebahan di depan televisi. “Dik, yuk kita jalan-jalan ke taman surga. Sekalian silaturahmi, siapa tau adik dapat rezeki lagi lho kaya kemarin”, rayuku sambil mengingatkannya akan uang pemberian seseorang khusus untuk Lukman. Lukman memang seorang anak yatim. Usianya baru sembilan tahun. Sedangkan ayahku meninggal dunia saat usianya baru tujuh tahun.
“Nanti dulu lah ka… Masih rame nih acaranya.. Ntar aku nyusul..”, pintanya. “Sekarang saja..”, bujukku sambil mengangkat tangannya, menolongnya untuk bangkit. Kutuntun adikku keluar rumah. Sedikit pun tidak kulepaskan tanganku dari tubuhnya supaya dia tidak lari kembali ke rumah. Eh..eh.. dia malah lari duluan ke rumah nenek. Dasar anak-anak, batinku.
Pintu rumah nenek tidak terkunci. “Assalamu’alaikum”, salamku. Langsung saja aku masuk menuju ke kamar beliau. Tubuhnya yang renta terbaring lemah di atas ranjang berkasur empuk yang entah masihkah dirasakannya nikmatnya kasur itu. Kuucap lagi salamku sebelum masuk ke kamar itu. “Wa’alaikum salam…”, jawabnya dengan nada lemah. Tangannya kuraih dan kucium dengan penuh hormat.
“Siapa? Aku tak mengenalmu..”, kata beliau sambil menatapku dan mengumpulkan ingatan-ingatan yang tercecer. “Masa ga kenal sama saya, Nek?”, tanyaku. “Eh, sudah kenal kok, hhhhh..”, sambungnya dengan desahan nafas panjang.
Sosoknya begitu tua. Beliau terbaring tak berdaya. Tampak lebih kurus dari terakhir kali aku melihatnya sekitar seminggu yang lalu saat acara buka bersama di rumah paman.
Aku membuka pembicaraan dengan menanyakan kabarnya saat itu. “Kaki Nenek rasanya dingin. Sulit mandi. Kadang dua hari baru bisa mandi..”, katanya. “Hmmmm..”, aku tak bisa berkomentar apa-apa. “Nenek puasa?”, tanyaku lagi. “Puasa”, jawabnya singkat.
Dalam keadaan lemah sayu begitu, beliau masih mampu atau lebih tepatnya memampukan diri untuk berpuasa. Kereeen, pikirku. Betapa malunya anak-anak muda yang sengaja tidak puasa dan lebih mengedepankan hawa nafsunya, sementara orang yang tua renta dan sakit-sakitan seperti nenekku masih bisa bertahan untuk puasa dengan segala keterbatasannya.
Di sisi lain, adikku Lukman sudah tak tau kemana perginya, setelah melihat nenek dia langsung main keluar dengan teman-temannya. Tak apalah, meski cuma sebentar paling tidak dia sempat jalan-jalan ke taman surga..
Sekitar lima belas menit aku duduk di sisi ranjang empuk itu. Tak banyak yang kami bicarakan mengingat keadaan nenek yang masih lemah. Tiba-tiba aku teringat akan almarhum ayah yang sudah dua tahun lalu berpulang ke pangkuan-Nya. Sepertinya, ajal itu semakin dekat saja. Dan aku sendiri tak tau kapan aku akan dijemput. Nenek yang sudah lama sakit dan sangat tua ternyata lebih lama hidup dibandingkan almarhum ayah yang hanya diberi jatah 48 tahun saja. Bagaimana denganku yang masih sehat dan muda. Kematian yang jauh terasa begitu dekat. Oh, Allah…
Di akhir perjumpaan, kucium kembali tangan lemah itu, “Semoga tambah nyaman ya keadaan nenek..”, doaku. “Doakan saya juga, Nek”, pintaku lagi. Dan beliau pun mendoakanku dengan doa singkat, “Semoga kamu beruntung dunia akhirat…”. “Aamiin ya Allah..”, kuaminkan doanya. Kututup pertemuan itu dengan salam.
“Ketika engkau menjenguk orang sakit maka mohonlah kepadanya untuk mendoakan kepadamu”
(HR Ibnu Majah dari Umar ra)
0 komentar:
Posting Komentar